A. Latar Belakang Masalah
Formulasi
konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak abad ke-3 dan ke4 H. Ini
diawali dengan semakin banyaknya orang yang mempraktikkan jalan sufi yang di
dalamnya mereka mendapat pengalaman keagamaan (religious experience)
yang beraneka ragam. Pengalaman keagamaan itu bahkan ada yang dinilai telah
keluar dari ortodoksi Islam oleh para ulama–biasanya terdiri dari kalangan ahli
fiqih. Dari sinilah kemudian muncul “perdebatan” bahkan “pertentangan” antara
sufisme dan syariah yang dalam sejarahnya Islam selain telah menghabiskan
energi para ulama untuk mendamaikannya.
Berkaitan
dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum sufi dan upaya untuk
mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah kemudian dalam
literatur sufi muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal. Sebab,
dalam konteks seperti itu tasawuf tidak bisa tinggal puas dengan kesalehan
asketis dan seruan cintanya terus-menerus. Sekali pandangan umumnya telah
memperoleh pengikut dan di antara pengikutnya terdapat kalangan ortodoksi yang
terpandang, segera ia mengembangkan metodologi “jalan batin” atau jalan
spiritual menuju Tuhan. Namun, lebih dari sekedar mendamaikan antara sufirme
dan syariah, kemunculan konsep-konsep dan metode dalam tasawuf juga dipicu oleh
tuduhan kalangan ulama atas klaim-klaim kaum sufi. Para ulama berpendapat bahwa
kalau klaim-klaim kaum sufi seluruhnya diakui, maka akan timbul kekacauan
spiritual karena tidak mungkinnya mengatur, mengontrol, bahkan meramalkan
jalannya “kehidupan spiritual” itu.
1.
Pengertian Maqamat dan Ahwal
“Maqamat dan
Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk
dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa
tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan
tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan
pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat
dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu
berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang
lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara
terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi.
Secara
terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat
adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik)
sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Istilah
Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh para sufi. Secara terminologis
kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang
masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi
memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut
al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang
hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan
dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam
dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang
hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah),
kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga
semata-mata kepada Allah.
Semakna dengan
al-Qusyairi, al-Hujwiri (wafat 465 H) menyatakan bahwa maqam adalah
keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban
yang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai
kesempurnaannya. Jika diperhatikan beberapa pendapat sufi diatas maka
secara terminologis kesemuanya sepakat memahami Maqamat bermakna kedudukan
seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras
beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan latihan-latihan spiritual
sehingga pada akhirnya ia dapat mencapai kesempurnaan.
Ibn Qayyim
al-Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang
pertama adalah kesadaran (yaqzah), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang
ketiga adalah musyahadah. Sedangkan menurut al-Sarraj Maqamat terdiri dari
tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha. Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin
membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal –
mahabah – ma’rifat dan ridha. At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al
Taubat – Wara – Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat. Al
Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf”
menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya
– tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Jika kembali
kepada sejarah, sebenarnya konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada pada
masa-masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini adalah
Ali Ibn Abi Thalib. Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa iman
dibangun atas empat hal: kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan. Akan
tetapi, macam-macam maqamat yang akan dijadikan acuan dalam bahasan ini lebih
mengarah pada konsep al-Sarraj.
A.
Maqamat
Sebagaimana
telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh
seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan.
Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu
maqam ke maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati
dari segala ikatan dunia.
Adapun
maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai berikut:
·
Taubat
Dalam
beberapa literatur ahli sufi ditemukan bahwa maqam pertama yang harus ditempuh
oleh salik adalah taubat dan mayoritas ahli sufi sepakat dengan hal ini.
Beberapa diantara mereka memandang bahwa taubat merupakan awal semua maqamat
yang kedudukannya laksana pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi bangunan tidak
dapat berdiri dan tanpa taubat seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya
dan tidak akan dapat dekat dengan Allah. Dalam ajaran tasawuf konsep
taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal
taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali dari
perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi
dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara
seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah
Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada
sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa
dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak
melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan
lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat tidak dapat dilakukan hanya sekali, tetapi
harus berkali-kali Dalam hal ini Dzu al-Nun al-Mishry membagi taubat pada dua
bagian yaitu taubatnya orang awam dan orang khawas.
Lebih lanjut
al-Daqqaq membagi taubat dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu taubat kemudian
inabah (kembali) dan tahap terakhir yaitu awbah. Menurut al-Sarraj tobat
terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak
(Muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya
ahli haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak
ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati
mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli
ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu berpaling
dari segala sesuatu selain Allah.
·
Wara’
Kata wara’
secara etimologi mengarah pada kata الكفِّ والانقباض yang berarti
menghindari atau menjauhkan diri. Dalam
perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram
dan hal-hal yang meragukan (syubhat).
Adapun makna
wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa
ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang
dilakukan seorang muslim. Seorang salik
hendaknya tidak hidup secara sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya,
berhati-hati jika berbicara dan memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
·
Zuhud
Kata zuhud
banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud
merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai
langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada
dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang
mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan
tidak menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang
diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik
yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir
konsep zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain
yaitu faqr. Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata
zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti
zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan
d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud
diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat
kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan
ridha Allah SWT.
Menurut
Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhudan
orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang
khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang
merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya
benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang
khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan
bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci.
Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah.
Sedangkan
menurut al-Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
- Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
- Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
- Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena Allah.
·
Faqr
Faqr
bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat
hubungannya dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan atau menjauhi
keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi (keduniaan) yang sangat
diinginkan maka faqr berarti mengosongkan hati dari ikatan dan keinginan
terhadap apa saja selain Allah, kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.
Orang yang
faqr bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang faqir adalah orang yang
kaya akan dengan Allah semata, orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan
Allah. Orang yang bersikap faqr berarti telah membebaskan rohaninya dari
ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya. Ali Uthman
al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang
mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang
pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan Syekh
Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan
jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”
·
Sabar
Sabar secara
etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa
kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan
jenis bebatuan. Sabar menurut terminologi
adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan
dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar
berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam
menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah
menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar
itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah
sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan
susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada
dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
Menurut
al-Sarraj sabar terbagi atas tiga macam yaitu: orang yang berjuang untuk sabar,
orang yang sabar dan orang yang sangat sabar.
·
Tawakkal
Tawakkal
bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk
memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan
memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau
konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal
menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir
dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa
semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak
seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
·
Ridha
Pada
dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti
halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia
termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi
dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan
kenikmatan.
Menurut Imam
al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha
berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun
keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau
tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa
nafsunya.
Ridha
menurut al-Sarraj merupakan sesuatu yang agung dan istimewa, maksudnya bahwa
siapa yang mendapat kehormatan dengan ridha berarti ia telah disambut dengan
sambutan paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi. Dalam
kitabnya al-Luma’ al-sarraj lebih lanjut mengemukakan bahwa maqam ridha
adalah maqam terakhir dari seluruh rangkaian maqamat. Imam al-Gazali mengatakan
bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk
mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh
aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari
keridhaan Allah.
B.
Ahwal
Ahwal adalah
bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental
states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn
Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu
waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’.
Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi
tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami
dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan
dengan ungkapan kata..
Telah
disebutkan diatas bahwa penjelasan mengenai perbedaan maqamat dan hal
membingungkan karena definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi
umumnya yang dipakai sebagai berikut: Maqamat
adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para sufi untuk
memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual
yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang
dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju Tuhan.
Didalam kenyataannya para Salik memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam
lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan “ahwal” sering diperoleh
secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi mengatakan
bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan (kasb). Tidak ada maqam
yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari maqam.
Beberapa
ulama mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam dan tidak
mengikat (dinamis). Al-Gazali dalam memberi pandangan yang menyatakan bahwa
apabila seseorang telah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh
suatu perasaan tertentu dan itulah hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh
tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning
yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah
seperti pada sakit kuning. Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi
atau sifat yang tetap dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan
hal. Menurut Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang
lebih tinggi sebelum memperbaiki maqam sebelumnya. Namun, sebelum beranjak
naik, dari maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya
menjadi kenyataan. Oleh karena itu, kenaikan
seorang salik dari satu maqam ke maqam berikutnya disebabkan oleh kekuasaan
Allah dan anugerah Nya, bukan disebabkan oleh usahanya sendiri. pernyataan
diatas memberikan pemahaman bahwa maqam bersifat lebih permanent keberadaannya
pada diri sang salik daripada hal. Selain itu, maqamat lebih merupakan hasil
upaya aktif para salik, sedangkan ahwal merupakan anugerah atau uluran Allah
yang sifatnya pasif.
Sebagaimana
halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep
pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi.
Diantara macam-macam hal yaitu:
·
Muraqabah
Secara
etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi
muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi
oleh penciptanya. Pengertian tersebut
sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri
kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa
Allah senantiasa melihat dirinya.
·
Khauf
Menurut
al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf
adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak
senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam
setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati
inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
·
Raja’
Raja’
bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena
menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’
adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan
datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah
kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu
akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat
yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap
optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi
hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk
melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
·
Syauq
Syauq
bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa
syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam
tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini
memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa
rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki
pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan
terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa
senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa
rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
·
Mahabbah
Cinta
(mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya
taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid
menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang
cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha.
Adapun
tanda-tanda mahabbah menurut Suhrawardi yaitu; 1) di dalam hati sang pencinta
tidak ada kecintaan pada dunia dan akhirat nanti. 2) ia tidak boleh cenderung
pada keindahan atau kecantikan lain yang mungkin terlihat olehnya atau
mengalihkan pandangannya dari keindahan Allah. 3) ia mesti lebih mencintai
sarana untuk bersatu dengan kekasih dan tunduk. 4) karena dipenuhi dan dibakar
cinta, ia mestilah menyebut-nyebut nama Allah tanpa lelah. 5) Ia harus mengabdi
kepada Allah dan tidak menentang perintahNya. 6) apapun pilhannya pandangannya
selalu mengharapkan keridhaan Allah. 7) menyaksikan Allah dan bersatu denganNya
tidak harus mengurangi kadar cinta dalam dirinya. Dalam dirinya harus bangkit
sifat syauq, dan ketakjuban.
Tokoh utama
paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta
kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam
kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.
·
Tuma’ninah
Secara
bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj
tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan
bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat
berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
·
Musyahadah
Dalam
perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata
hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini
berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat
melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan
akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba
dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki, musyahadah juga berarti
bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap
yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal
musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya
dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
·
Yaqin
Al-yaqin
berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta
serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan
secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah
tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak
berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari
seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal
.
A. Kesimpulan
Setelah
membahas dan memahami uraian di atas, dapat dibuat beberapa point dalam sebuah
kesimpulan sebagai berikut:
- Maqam adalah tingkatan yang harus ditempuh oleh para pejalan spiritual untuk sampai pada titik akhir tujuan.
- Pada dasarnya konsep mengenai tingkatan atau macam-macam maqam menurut ahli sufi berbeda antara satu dengan yang lainnya, diantara mereka ada yang menyebutkan bahwa tingkatan tersebut terdiri dari taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha. Adapula yang membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha dan sebagainya.
- Maqam sifatnya lebih dinamis dan aktif karena merupakan usaha dari para salik sendiri.
- Ahwal adalah keadaan yang dialami oleh para salik di tengah-tengah perjalanan spiritualnya. Hal sifatnya lebih statis, karena ia merupakan anugerah Allah yang timbulnya secara spontan pada diri sang salik tanpa ada usaha terlebih dahulu.
- Sebagaimana maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Diantaranya adalah muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, uns, musyahadah, yaqin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya Abu
al-Husain, Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, Dar
al-Ma’rifah: Beirut, tt.
Al-Jailani Syekh Abdul Qadir, Rahasia
Sufi Agung, penerj. Abdul Madjid, (Cet. I; DIVA press: Yogyakarta, 2008)
Al-Qusyairiy, al-Risalah
al-Qusyairiyah (CD al-Maktabah al-Syamilah)
Al-Turmudzi Abu Isa Muhammad Ibn Isa
Ibn Saurah, Sunan al Turmudzi, Beirut: Dar al Fikr, 1994).
Azra Azyumardi dkk, Ensiklopedi
Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
Bagir Haidar, Buku Saku Tasawuf,
(Cet. II; Mizan: Bandung), 2006.
Basyuniy Ibrahim, Nasy’ah
al-Taswuf al-Islamiy, Dar al-Ma’arif: Mesir, 1119 H[1]
Rahman Fazlur, Islam,
Terjemahan oleh Ahsin Muhammad dari Islam, (Bandung: Pustaka, 1984)
Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya
Dalam Islam, (Cet. II; Raja Grafindo Persada: Jakarta), 1997.
Suhrawardi Syekh Syihabuddin Umar, Awarif
al-Ma’arif., (ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail), Pustaka
Hidayah, Bandung, 1998.
Zainul Bahri Media, Menembus
Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi, (Cet.
I; Prenada Media: Jakarta), 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar